Terjebak di dalam Bus Kota

Senin, 10 Juni 2024, aku mendapatkan sebuah pengalaman baru, terjebak di dalam bus kota.

Bus kota adalah istilah untuk bus yang beroperasi di kota Jakarta. Bus kota identik dengan suasana panas, berdesakan, dan bising. Zaman sekarang, bus kota tak lagi panas dan membuat gerah. Bus kota yang panas itu semua sudah disingkirkan, digantikan dengan bus-bus dengan pendingin udara yang menyejukkan hati orang-orang Jakarta yang sudah lelah.

Dahulu, aku sangat tak suka naik bus kota. Angkot atau angkutan kota jauh lebih baik, menurutku. Bus kota itu selain panas, banyak preman yang suka memalak penumpang, banyak copet, juga banyak penjaja berkeliaran. Sungguh tidak nyaman. Belum lagi di jalan, bus kota sering kali kebut-kebutan dan membahayakan penumpang. Tak sekali dua kali bus kota menerobos palang pintu kereta api dan akhirnya terseret kereta. Sopir bus kota seringkali memacu bus kota dengan kecepatan tinggi agar minimal setoran terpenuhi, karena mereka digaji berdasarkan setoran. Sungguh membahayakan.

Sejak tahun 2002, sejak adanya bus Transjakarta, orang lebih memilih naik bus Transjakarta, atau yang oleh orang awam disebut dengan “busway”. Bus Transjakarta hanya berhenti di halte tidak berhenti sembarangan. Sehingga aman untuk lalu lintas. Sekarang, setelah 22 tahun, aku tak lagi melihat bus kota lama di jalanan Jakarta yang bukan lagi ibukota ini.

Di tahun 2014, saat aku baru saja pindah ke Jakarta (tahun 2013), aku masih melihat bus kota lama yang bernama metromini dan kopaja. Mereka sering masuk jalur busway. Aku hampir kehilangan nyawa karena bus ini. Tuhan masih memberiku tugas di dunia sehingga aku masih hidup sampai hari ini.

Sejak kembali ke Jakarta, jalur bus Transjakarta sudah banyak sekali. Aku pun memilih bus Transjakarta alih-alih bus kota lama. Alasanku sederhana, seandainya aku nyasar karena salah turun halte, paling tidak aku masih aman karena masih di dalam halte bus. Apabila aku naik bus kota lama, atau bahkan angkot, yang berhenti sembarangan di pinggir jalan, jika aku salah turun, apa yang harus kulakukan? Karenanya aku menjadi pelanggan setia bus Transjakarta sejak itu. Bahkan aku adalah generasi pertama naik bus dengan kartu uang.

Kembali ke masa kini, apa yang aku alami di hari Senin lalu adalah sebuah anomali. Perjalanan dari halte Bidara Cina di depan kantorku sampai ke halte Cawang di depan kantor BNN bukanlah perjalanan yang lama. Jarak tempuh normalnya hanya sekitar 10 menit. Namun di hari Senin yang lalu, bahkan setelah 40 menit di dalam bus, kami tak juga sampai di halte Cawang.

Seperti biasa saat kulihat ada kejanggalan, aku mencari informasi di media sosial Twitter, yang sekarang namanya berubah menjadi X. Beberapa kata kunci kumasukkan. Aku pun menemukan bahwa setengah jam yang lalu, terjadi kecelakaan di jalan tol sebelum TMII. Sebuah truk pengangkut sayur terbakar. Imbasnya ternyata membuat jalan reguler pun dilanda kemacetan.

Setelah 40 menit berdiri, seorang penumpang ingin turun. Kami pun turun. Aku berjalan menuju halte Cawang untuk naik ke stasiun LRT Cawang. Naik kereta adalah pilihan tepat saat ini. Dan seperti yang kuduga, suasana di stasiun Cawang sungguh ramai.

Aku menunggu azan magrib di sana, lalu menunaikan ibadah salat Magrib, kemudian pulang ke rumah melalui stasiun Harjamukti. Padahal aku berencana pulang lebih awal agar dapat berbuka puasa di rumah, eh, ternyata diberi kejadian unik di jalan, hahaha.

Ada hikmah yang kupetik dari kejadian ini. Akhirnya aku merasakan apa yang orang-orang rasakan saat macet di jalan. Juga sebuah nostalgia mengenang perasaan lama saat masih jadi penumpang bus kota yang panas.

Sekarang suasana lalu lintas sudah kondusif. Turut prihatin pada korban kecelakaan di jalan tol tadi. Semoga kita semua baik-baik saja.

Tinggalkan komentar