Lebaran di Bukittinggi

29 April 2024

IMG20240410084537

“Meskipun terlambat, selamat hari raya idulfitri 1 Syawal 1445 Hijriah.”

Maaf, bukan saya ingin mengulik luka lama, ini murn kebetulan belaka, hehehe.

Jadi, tahun ini saya dan keluarga merayakan lebaran idulfitri di rumah mertua di Bukittinggi. Mertuanya mertua saya, ibu dan ayah dari suami saya. Kakek dan nenek dari anak saya.

Lebaran di Bukittinggi sudah pasti penuh dengan budaya dan adat Minang. Apalagi Mama adalah tetua adat. Orang kurai kalau mereka bilang. Mama merupakan orang yang paling tua, dan semua kemenakannya datang ke rumah mengunjungi Mama.

IMG20240410084631

Tidak ada budaya sungkem di Minang. Setelah dari masjid, kami hanya cium tangan orang yang lebih tua dan minta maaf. Setelah semua bermaafan, kami menggelar lauk pauk di lantai, dan makan bersama.

IMG20240412103718

Lauk pauk dalam bahasa Minang disebut SAMBA. Iya, lagu sambalado itu artinya lauk bersambal, karena lado artinya sambal. Semua samba diseprah (diatur di lantai) untuk kami makan bersama.

Ada banyak sekali samba. Perempuan berperan mengambil nasi jika mau habis dan membantu ini itu. Peran laki-laki adalah makan. Iya, meski Minang bertradisi matrilineal, budaya patriaki sangat lekat di sana. Dapur hanya untuk perempuan. Proses memasak, menyajikan, mengisi ulang, sampai mencuci piring kotor, semua diserahkan pada perempuan. Yah, tidak cuma di Minang sih, di seluruh Indonesia juga demikian, bukan?

Tapi alhamdulillah, kami bahagia melakukannya. Karena peran laki-laki adalah makan, maka mereka wajib menemani tamu untuk makan. Tak peduli mereka sudah makan atau belum. Tak peduli berapa kali mereka sudah makan. Tetap harus menemani tamu makan bersama. Perempuan? tinggal sembunyi saja di dapur, hehehe.

Di hari pertama lebaran, tamu datang silih berganti. Total kami melakukan 4 sesi makan besar. Beberapa keluarga yang datang sering disatukan kegiatan makannya. Karenanya, hanya ada empat sesi makan dari pagi hingga sore. Iya, hanya hingga sore.

Di hari kedua lebaran, masih banyak tamu yang datang. Namun, sesi makan hanya 3 kali saja. Di hari ketiga, sesi makan menjadi dua kali. Di hari keempat, kami yang anak muda mengunjungi Bako.

Bako itu apa? Bako adalah keluarga dari ayah. Karena Minang menganut matrilineal dan matrilokalitas, suami akan masuk dan tinggal di keluarga istri. Anak mengikuti garis ibunya. Sehingga keluarga suami menjadi keluarga luar yang disebut Bako.

Berkunjung ke rumah Bako artinya makan banyak. Dilarang makan sedikit jika di rumah Bako. Karena itu, aku selalu menyiapkan diri untuk tidak makan dulu sebelum ke rumah Bako, hahaha.

IMG20240410101206

Lebaran di Bukittinggi memang identik dengan makan. Namun kami sangat menyukai setiap momen di sana.

Sekali lagi, meski terlambat, selamat lebaran.

Cuplikan layar 2024-04-29 162310


Cerita Perjalanan Menuju Bukittinggi

10 April 2024

Dear all,

Kali ini aku ingin berbagi kisah perjalananku menuju Bukittinggi, dari Jakarta.

Idulfitri tahun ini aku habiskan di kampung halaman suamiku di Bukittinggi. Seharusnya dari Jakarta, kami akan naik pesawat udara ke Padang, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat ke Bukittinggi. Namun tahun ini, perjalanan akan ditempuh lewat Pekanbaru.

Ada beberapa alasan mengapa kami memilih Kota Pekanbaru sebagai kota transit. Salah satu alasannya adalah karena kami tidak kebagian tiket pesawat ke Padang. Jika pun ada, harganya sangat-sangat mahal dan kami merasa tidak sanggup membelinya.

Alasan lainnya adalah gunung Merapi yang batuk-batuk menyebabkan jalan dari Padang ke Bukittinggi terputus karena adanya longsor lahar dingin. Debu Merapi ke mana-mana dan sampai membuat Bandara Internasional Minangkabau (BIM) ditutup untuk sementara waktu.

Alasan berikutnya adalah karena akses dari Pekanbaru ke Bukittinggi juga tidak sulit. Hampir sama dengan akses dari Padang ke Bukittinggi. Kami menyewa mobil untuk mengantar kami dari bandara ke rumah mertua.

Perjalanan dari Depok (maaf, bukan Jakarta) dimulai di pagi hari. Adiku bersama suami, anak, dan ibuku mengantar kami ke Tangerang, tempat bandar udara Soekarno-Hatta berada. Kami berangkat dari terminal 2D Domestik. Perjalanan pagi di mobil, cukup seru. Anakku langsung tidur, sementara adik sepupunya heboh bertanya ini dan itu ayahnya.

Sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, kami langsung mengambil troli untuk lapor masuk. Ternyata Batik Air, pesawat yang akan kami tumpangi, menerapkan kebijakan Check-in Online atau lapor masuk secara daring. Kami baru tahu hal ini. Kami pun lapor masuk melalui internet dan tidak kebagian kursi yang sejajar. Kami pun duduk terpisah jauh. Karena anakku sudah cukup besar untuk duduk terpisah, kami ambil kursi tersebut. Ini cuma 1 jam 25 menit perjalanan saja kok, tidak lama.

WhatsApp Image 2024-04-08 at 12.22.16 (2)

Perjalanan menuju ruang tunggu boarding sangat panjang. Bahkan saat kami sudah berjalan puluhan menit, papan petunjuk masih menunjukkan bahwa pintu D1-D7 masih harus ditempuh 3-5 menit lagi.

WhatsApp Image 2024-04-08 at 12.22.16

Benar-benar panjang dan melelahkan. Untung saja kami tidak membawa barang yang berat. Hanya laptop di tiap tas, dan barang-barang penting lainnya. Setelah berjalan beberapa menit lagi, kami pun tiba di ruang tunggu boarding. Pesawat kami mengalami keterlambatan selama 40 menit.

WhatsApp Image 2024-04-08 at 12.22.15 (1)

Syukurlah, tak perlu terlalu lama menunggu. Pesawat kami tidak ditunda lagi, dan kami diizinkan masuk pesawat. Suamiku mengajakku untuk buru-buru masuk pesawat karena tempat duduk kami jauh terpisah. Ini supaya beliau dapat membantuku dan anakku menyimpan barang-barang kami dengan benar di bagasi kabin.

WhatsApp Image 2024-04-08 at 12.22.15

Setelah setengah jam menunggu, pesawat pun berangkat. Kemudian setelah satu jam empat puluh menit, pesawat akhirnya mendarat. Pukul setengah dua siang, aku menunggu bagasiku datang. Kami tiba di Pekanbaru, Riau.

WhatsApp Image 2024-04-08 at 12.22.14

Penjemput kami telah menunggu di luar. Sebelum kami bertolak ke Bukittinggi, kami menjalankan salat Zuhur dan Asar sejenak di masjid terdekat. Kemudian kami berangkat ke Bukittinggi lewat jalan tol.

WhatsApp Image 2024-04-08 at 12.22.13

Perjalanan dari Pekanbaru ke Bukittinggi ditempuh dalam waktu enam jam. Kami sempat berhenti di rumah makan untuk makan malam setelah seharian berpuasa. Hujan juga turun dengan deras. Cuaca sangatlah dingin. Suamiku dengan tegas memberi instruksi agar aku memakai jaket dan memasang resletingnya.

Pukul delapan malam kami tiba di rumah mertuaku. Lelah, tetapi bahagia. Perjalanan ini merupakan petualangan baru untukku. Dan aku merasa layak untuk diceritakan.

Cuplikan layar 2024-04-09 101755


Berkelana di Cibubur Junction

6 April 2024

Mungkin judulnya sedikit lebay, ya? Hehehe. Berkelana? Di mal? Yang benar saja! Tetapi itulah yang terjadi. Bagi perempuan menjelang 40 tahun dengan satu anak remaja, memang “berkelana” adalah sesuatu yang istimewa untukku. Demi membersamai anak remajaku, aku merelakan diri langsung pulang setelah jam kerja usai. Agar aku bisa bersamanya saat dia ingin berdiskusi denganku. Aku hampir tak punya waktu untuk diriku sendiri.

Kali ini karena anakku menginap di sekolahnya, tak ada yang menungguku untuk berdiskusi di rumah. Maka kuputuskan untuk menghabiskan sisa waktuku berkelana sendirian.

Walau di bulan Ramadan, aku sedang tidak berpuasa. Walau tidak berpuasa, aku tidak makan seharian. Hanya minum air putih. Karena itu, setibanya di Cibubur Junction, aku langsung ke hipermarket di sana untuk membeli air putih dan beberapa makanan. Bagaimana pun ini adalah makanan pertamaku hari ini.

Lucunya, walau aku tidak puasa, aku tetap menunggu azan magrib berkumandang sebelum minum air putih. Buat apa, coba? Hahaha. Setelah minum, aku berkeliling, mencari restoran yang tidak terlalu penuh dan tidak diboikot untuk makan malam. Aku memutuskan makan di Steak 21.

IMG20240402182256

Seperti biasa, menu pilihanku di Steak 21 adalah Rib Eye Supreme dengan saus creamy mushroom. Tapi kali ini ada yang beda. Aku memesan mashed potato alih-alih potato wedges sebagai karbonya. Dan aku menyesali pilihanku itu, hahaha. Kalau di Steak 21 mendingan pilih wedges saja. Mashed potato yang enak itu di Double U Steak.

Oh ya, aku memesan teh tawar hangat untuk minumannya. Badanku tidak terlalu nyaman untuk meminum es teh, dan aku sedang mengurangi gula karena jerawatku mulai bermunculan. Teh tawar hangat adalah solusi tepat untukku.

Kalau sudah di mal, tentu saja harus berbelanja. Mr. DIY adalah toko belanja kesukaanku. Daiso juga kesukaanku, tapi di Cibubur Junction adanya Mr. DIY. Jadi, aku berbelanja di sana.

Kenapa aku suka toko semodel Mr. DIY? Karena aku dapat menemukan barang-barang aneh atau unik yang tak terpikir sebelumnya. Aku menyukai berbelanja barang-barang seperti itu.

Malam makin larut dan aku sudah lelah. Aku menghubungi ojek jemputanku dan aku pun pulang. Akhirnya petualanganku mecoba rute baru dan berkelana di mal, selesai sudah.

Cuplikan layar 2024-04-06 135933


Pulang ke Cibubur Lewat Rute Baru (Kampung Rambutan)

5 April 2024

Hari Rabu lalu, aku pulang lewat rute lain. Sekalian mencoba rute yang belum pernah kulewati.

Sebenarnya, alasan utama aku jalan-jalan dulu sebelum pulang adalah karena tidak ada orang di rumah yang menungguku pulang, hahaha. Suamiku sudah jelas, selalu pulang malam. Anakku, Zi, sedang ada acara menginap di sekolahnya. Jadi, malam itu aku akan sendirian di rumah. Yah, sekalian saya aku jalan-jalan, kan?

Biasanya, rute pulangku adalah BRT Transjakarta dari halte Bidara Cina ke arah Cawang Ciliitan, lalu ganti bus ke arah Cibubur. Kadang aku pulang dengan naik LRT. Aku naik BRT Transjakarta ke halte Cawang (dulu BNN), lalu menuju ke stasiun LRT Cawang dan naik LRT ke arah Harjamukti.

Dan, ternyata perjalanan pulang lewat rute baru sangatlah menyenangkan. Lebih dari yang kubayangkan. Sederhana, memang. Namun buatku ini mengesankan. Aku suka pengalaman ini.

Pertama dari kantorku, aku naik BRT Transjakarta dari halte Bidara Cina. Biasanya aku akan naik jurusan apa pun yang melewati halte Cawang Cililitan (dulu halte BKN), untuk ganti bu ke arah Cibubur. Namun kali ini, aku sengaja naik bus jurusan Kampung Melayu-Kampung Rambutan via Tol HEK. Sengaja aku mencari bus yang lewat Tol HEK, karena aku penasaran rute apa saja yang akan dilewati.

Bus Transjakarta yang aku naiki, masuk tol Jagorawi lewat Cawang. Tepat setelah berhenti sejenak di halte Cawang Sentral (dulu UKI). Dari halte tersebut, bus langsung masuk tol. Peristiwa masuknya bus Transjakarta langsung dari halte Cawang Sentral ke jalan tol pasti merupakan peristiwa yang menjengkelkan untuk pengemudi kendaraan bermotor lainnya. Karena bus yang tadinya ada di ruas paling kanan jalan, langsung memotong arus dan belok kiri secara tajam untuk masuk jalan tol. Bus akan menghalangi jalannya kendaraan bermotor lain untuk sesaat. Dan, sebagai orang yang kadang mengendarai mobil atau motor, aku bisa merasakan kejengkelan itu, hehe.

Setelah masuk jalan tol, bus akan keluar tol dari pintu tol Ramp Taman Mini 2. Kemudian akan belok kiri dan menuju persimpangan HEK. Setelah itu, bus menempati rute koridor 7 Transjakarta Kampung Melayu-Kampung Rambutan biasa. Lewat halte Pasar Induk, Trikora, Flyover Raya Bogor, Tanah Merdeka, dan terakhir, terminal Kampung Rambutan.

Ini kali pertamaku tiba di terminal Kampung Rambutan dengan naik bus Transjakarta. Ternyata Kampung Rambut itu sangat sepi, ya. Aku kaget. Karena di bayanganku, terminal Kampung Rambutan ini sama seperti terminal Lebak Bulus, Pulo Gadung, Blok M, dan terminal-terminal lain yang penuh sesak dengan kendaraan yang terparkir dan menunggu giliran berangkat lagi. Ternyata tidak begitu. Terminal Kampung Rambutan benar-benar sepi. Terutama di bagian halte bus. Suasananya mirip dengan halte BRT Ancol (dekat Dufan).

Begitu aku turun di halte Kampung Rambutan, aku langsung mencari bus ke arah Cibubur. Jurus utamaku adalah bertanya pada Pramusapa yang bertugas di halte.

“Mbak, kalau mau ke Cibubur, naik dari mana, ya?” tanyaku.

“Oh, bukan di sini, Bu. Di Tanah Merdeka sana. Ibu naik bus lagi aja ke arah Tanah Merdeka.” jawab Mbak Pramusapa.

Oh, rupanya aku salah turun. Pantas saja di halte Tanah Merdeka banyak sekali penumpang yang turun. Lebih banyak dari halte terakhir Kampung Rambutan.

Akhirnya aku naik bus lagi ke arah Kampung Melayu untuk turun di halte Flyover Raya Bogor. Kenapa tidak langsung ke halte Tanah Merdeka? Karena halte itu terpisah antara yang menuju Kampung Melayu dan Kampung Rambutan.

Sesampainya di halte Flyover Raya Bogor, aku menyeberah untuk kembali naik bus ke arah Tanah Merdeka. Kemudian di sana, aku keluar halte. Setelah bertanya pada Pramusapa di sana, aku ditunjukkan ke antrean orang-orang yang menunggu bus di seberang jalan.

“Mereka semua menunggu bus ke Cibubur,” jelas Pramusapa itu.

Aku pun menyeberang dan bergabung dengan mereka.

“Mbak, kalau mau ke Cibubur, nunggu busnya di sini, kan?” tanyaku pada sembarang orang yang ada di sana.

“Iya, nanti kita naik bus 7V,” jawabnya ramah.

Setelah sekitar 30 menit, akhirnya bus tersebut datang. Calon penumpang sudah antre membentuk satu barisan untuk naik bus. Yang aku suka dari penumpang bus adalah mereka terbiasa tertib dan membentuk antrean satu baris. Tidak berebutan.

Bus langsung masuk tol setelah dari Tanah Merdeka. Kembali aku menikmati pemandangan rute baru

IMG20240402173619

Bus keluar tol dari pintu Cibubur dan berhenti di halte Buperta Cibubur. Kemudian jalan lagi dan berhenti di halte Cibubur Junction. Di situlah aku turun.

IMG20240402174533

Setelah turun dari bus, petualanganku berlanjut di Cibubur Junction. Nanti akan kutulis di post berikutnya.

Secara keseluruhan, aku menikmati perjalananku kali ini. Walau salah turun halte, walau harus naik turun bus, aku menikmatinya. Pengalaman baru yang sejujurnya, bukan seperti diriku biasanya. Ya, aku keluar dari zona nyamanku saat melakukan perjalanan ini.

Terima kasih telah membaca kisahku di Catatan Harian Yeptirani. Aku akan tulis kisah-kisah lain di post berikutnya. Sampai Jumpa.

Cuplikan layar 2024-04-06 130124


Perpustakaan Universitas Indonesia

24 September 2020

Perpustakaan UI

Kali ini saya akan menulis sebuah tulisan bertema perpustakaan, dalam rangka memperingati Hari Kunjung Perpustakaan pada tanggal 14 September lalu. Memang terlambat, tetapi tak apa, lebih baik daripada tidak sama sekali.

Saya akan mengulas tentang Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok.

Sebagai anak Salemba, saya jarang sekali berkunjung ke Perpustakaan UI di Depok ini. Tetapi bukan berarti tidak pernah. Sekali dua kali, sebelum Pandemi Covid19 melanda, saya menyempatkan diri berkunjung ke perpustakaan yang sangat besar ini.

Perpustakaan UI sangatlah besar. Di dalamnya ada sekitar satu juta lima ratus ribu buah buku. Tentu saja kebanyakan buku yang ada di sini adalah buku paket kuliah atau buku-buku referensi perkuliahan lainnya.

Suasana di dalam gedung Perpustakaan UI ini sangatlah menyenangkan. Sofa-sofa empuk bertebaran di sana. Sebelum masuk, tamu harus menunjukkan Kartu Identitas Mahasiswa UI terlebih dahulu. Jika Anda tak punya kartu mahasiswa, maka Anda harus mendaftarkan diri ke resepsionis dan menukar KTP Anda dengan kartu tamu. Kemudian Anda diwajibkan menitipkan semua barang bawaan termasuk makanan dan minuman, kecuali barang berharga dan barang elektronik. Tak usah khawatir, tersedia loker dan tas transparan untuk membawa laptop. Lalu, naik lift menuju lantai tujuan.

Perpustakaan UI juga menyediakan buku-buku daring. Buku-buku daring ini hanya bisa diakses oleh mahasiswa UI saja karena untuk membuka aksesnya harus menggunakan username dan password SSO UI. Dalam masa Pandemi Covid-19 ini, Perpustakaan UI ditutup dan tidak dapat dikunjungi. Karenanya, perpustakaan daring sangat membantu mahasiswa dalam mencari sumber referensi perkuliahan.

Secara berkala, petugas perpustakaan UI akan mengirimkan surel kepada seluruh mahasiswa jika ada buku baru yang masuk katalog. Hal tersebut sangat membantu mahasiswa sehingga mahasiswa dapat langsung mengakses buku daring itu dari situs perpustakaan.

Begitulah cerita saya tentang Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok. Nanti setelah pandemi berakhir, saya akan mengunjungi perpustakaan itu lagi dan menikmati membaca buku di dalamnya.

#HariKunjungPerpustakaan #TantanganRBM


Backpacker ke Taman Safari

30 Juli 2018

“Ay, kita ke Puncak, yuk. Naik motor,” kata saya pada Pak Suami di suatu waktu.

“Ayuk,” sambut Pak Suami.

Begitulah, akhir pekan kemarin kami pun berangkat ke Puncak dengan mengendarai sepeda motor. Tujuanya adalah Safari Malam di Taman Safari.

Berangkat dengan 3 ransel (tiap orang menyandang satu ransel), kami mengendarai sepeda motor ke arah Cisarua, Bogor. Rasanya seru. Biarpun lelah, namun semua terbayar dengan pemandangan di sepanjang jalan. Pemandangan mobil yang terpaksa parkir di sepanjang jalan, sementara kami bisa melaju tanpa halangan. ( ͡° ͜ʖ ͡°)

Kami berangkat dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta alias beloved Jekardah sekitar jam 1 siang. Salah jalan lewat Condet di mana jalanan ditutup karena ada Festival Condet. Namanya juga Festival Condet, ya di Condet, lah. (*~▽~)

Tadinya kami mau makan siang di Bandar Condet (nanti lah ulasannya ya, kalu sempat makan di sana lagi, soalnya recommended kok menurut kami), tapi karena muter-muter gak ketemu juga Bandar Condet-nya (ingat, jalanan ditutup), akhirnya kami makan bakso di pinggir jalan, deh. Haduh, jauh amat yak, antara Bandar Condet sama Bakso Kaki Lima? ^_^

Perjalanan kami lanjutkan, capek, berhenti, lelah, istirahat, tiba waktu salat, menepi di masjid. Hingga akhirnya kami sampai di Taman Safari pada pukul 5 sore.

Tanya-tanya petugasnya, dia bilang bahwa Safari Malam akan buka pukul 7 malam. Kami disilakan menunggu di taman dekat pintu masuk. Ada fasilitas toilt, kantin, dan musala di sana.

Karena kami belum punya tempat menginap (duh, memang backpacker nih, tanpa rencana pasti –_-’), akhirnya kami turun untuk mencari penginapan. Awalnya kami mencari penginapan di dekat Taman Safari, tapi semua penuh, sisa bungalow yang harga semalamnya bisa buat beli hape Xiaomi Redmi 6A.

Sedikit putus asa sebenarnya. Tapi dasar saya ini orang yang malas mengkhawatirkan sesuatu, saya bilang ke Pak Suami, “kalau sampai waktu Safari Malam kita belum dapat penginapan dekat-dekat sini, udah aja, ikut Safari Malam dulu, nanti kita cari penginapan di bawah, kan murah-murah tuh”.

“Penginapan dekat-dekat sini” itu maksudnya adalah penginapan dengan harga maksimal 500 ribu rupiah semalam.

Pencarian kami membuahkan hasil. Di Hotel Lembah Safari, kami menemukan kamar untuk 3 orang seharga Rp375.000,00. Alhamdulillah.

Setelah beristirahat sejenak dan salat magrib, kami pun berangkat ke Taman Safari dan membeli tiket Safari Malam. Harga tiket Safari Malam adalah Rp180.000,00 per orang. Tiga orang jadi Rp540.000,00 cash.

DSC_1462

Di Safari Malam, kami diajak berkeliling dengan kereta mobil terbuka, melihat binatang-binatang yang terjaga di malam hari.

DSC_1466DSC_1471

Setelah itu, kereta berhenti di Baby Zoo. Ini seperti kebun binatang khusus binatang malam. Di sana ada burung hantu yang bisa diajak berfoto dengan pengunjung.

DSC_1492

Untuk befoto dengan burung hantu, kami membeli karcis seharga Rp20.000,00. Puas-puas ambil foto, deh.

DSC_1486

^Abang Zimam menggendong Gito.^

DSC_1481

Selain Baby Zoo, di Safari Malam juga ada wahana Menunggang Unta, wahana permainan macam di Dufan, dan bermacam-macam atraksi. Zimam memilih wahana menunggang unta. Kami membeli karcis seharga Rp25.000,00 untuk ini.

DSC_1495

DSC_1498

Setelah puas bermain di Safari Malam, kami lanjut jalan-jalan ke Puncak. Mampir di warung pinggir jalan untuk makan malam dan menghangatkan badan. (⌐■_■)

Screenshot_20190302-171757

Dan kami pun kembali ke kamar hotel untuk beristirahat.

Paginya, setelah bermain air sejenak di hotel, kami bersiap pulang.

DSC_1512

^Abang Zimam bermain balon sabun di halaman depan kamar hotel^

Perjalanan kembali ke Jakarta lebih cepat dari perjalanan berangkat. Mungkin karena kami pun sudah lelah. Kami tiba di rumah sekitar jam 3 sore. Istirahat sejenak, kemudian jalan-jalan lagi keliling kota sambil mencari makan malam.

Pekan kemarin adalah pekan yang seru, dengan backpacking sekadarnya ala keluarga Zulkifli.( ´ ▽ ` )ノ

Mau coba travelling sekeluarga seperti kami? ^_^


Jalan-jalan ke Ngarai Sianok

23 Juni 2018

DSC_1276

Kalau saya bilang “jalan-jalan”, maka, benar jalan-jalan. 🙂

Itu benar.

Awalnya, kami berkunjung ke rumah saudara kami yang berada di depan gerbang Janjang Saribu (tangga seribu). Kami berpetualang jalan kaki menuruni Janjang Saribu, Ngarai Sianok, Gua Jepang, Panorama, Jam Gadang, dan pulang.

Esoknya, para keponakan mengajak kami jalan-jalan ke Janjang 40, lalu Jam Gadang, Panorama, Gua Jepang, Ngarai Sianok, dan naik Janjang Saribu, untuk kemudian pulang ke rumah naik gojek.

Kenapa jalan kaki?

karena tak ada satupun mobil rental mau menjemput atau mengantar kami. Saking pennuhnya jalanan Bukittinggi.

Wow…

DSC_1239DSC_1240DSC_1243DSC_1246DSC_1255DSC_1258

Janjang Saribu

DSC_1266DSC_1277DSC_1281DSC_1286DSC_1290DSC_1292DSC_1293

Kapan-kapan, saya akan saya uls objek wisata ini satu persatu, ya. Doakan agar kesempatan itu segera datang. 🙂